Find Us :

Followers

About Me

Followers

RSS

TALAK

TALAK
TUGAS MAKALAH FIQIH 2

Dosen Pengampu:
Nurul Afifah, M.Pd.I






Disusun Oleh:
Kelompok 12
Dedek Wulandari    (1290005)
Widya Lestari    (1290855)
PRODI: PGMI (A)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JURAI SIWO METRO
T.P 2013 / 2014
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur senantiasa tercurahkan kepada Allah SWT atas nikmat karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah Fiqih ini. Makalah ini memuat tentang “Talak”.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari akan keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki, maka dari itu penulis memohon bantuan dan bimbingan demi terwujudnya penulisan makalah ini. Untuk itu penulis melalui kesempatan ini  mengucapkan terimakasih kepada:
1.    Ibu Nurul Afifah, M.Pd.I. Selaku dosen Mata Kuliah Fiqih.
2.    Teman-teman yang telah banyak membantu pembuatan makalah ini.
Demikian makalah ini dibuat semoga bermanfaat bagi kita semua.
Wassalamualaikum Wr. Wb.


Metro, September 2013


Penyusun



DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL        i
KATA PENGANTAR        ii
DAFTAR ISI        iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang        1
B.    Rumusan Masalah        2
C.    Tujuan        2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Talak        3
B.    Dalil Disyariatkan Talak dan Hukum Talak        3
C.    Syarat-Syarat bagi Orang yang Menalak        6
D.    Ungkapan Cerai (Shighat Talak)        7
E.    Bilangan Talak        10
F.    Macam-Macam Talak        11
G.    Permasalahan Tentang Talak        16
H.    Kewajiban-Kewajiban Suami kepada Istri yang Ditalak        19
I.    Hikmah Talak        19
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan        21
B.    Pendapat Kelompok        22
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dalam pandangan Islam. Pernikahan juga merupakan suatu dasar yang penting dalam memelihara kemashlahatan umum. Kalau tidak ada pernikahan, maka manusia akan memperturutkan hawa nafsunya, yang pada gilirannya dapat menimbulkan bencana dalam masyarakat.
Pada dasarnya, dua orang (laki-laki dan perempuan) melangsungkan pernikahan dan membangun rumah tangga dengan tujuan untuk memperoleh kebahagian atau dikenal dengan istilah membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahma. Akan tetapi, pada kenyataannya tidak semua rumah tangga yang terbentuk melalui pernikahan dilimpahi kebahagiaan. Kadang ada saja masalah yang menimbulkan perselisihan yang dapat berujung pada perceraian.
Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala hal tentang kehidupan, termasuk pernikahan, perceraian (talak), rujuk, iddah, dan sebagainya. Talak dapat dilaksanakan dalam keadaan yang sangat membutuhkan, dan tidak ada jalan lain untuk mengadakan perbaikan. Hal ini antara lain diperbolehkan apabila suami istri sudah tidak dapat melakukan kewajiban masing-masing sesuai dengan ketentuan agama, sehingga tujuan rumah tangga yang pokok yaitu mencapai kehidupan rumah tangga yang tenang dan bahagia sudah tidak tercapai lagi. Apalagi kalau rumah tangga itu dapat mengakibatkan penderitaan-penderitaan dan perpecahan antara suami istri tersebut, maka dalam keadaan demikian perceraian dapat dilaksanakan, yaitu sebagai jalan keluar bagi segala penderitaan baik yang menimpa suami atau istri. Oleh karena itu, penulis ingin mempelajari mengenai hal tersebut dengan cara menulis sebuah makalah dan mengangkat judul ”Talak”.
B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut diatas, maka dapat diasumsikan beberapa rumusan masalah yaitu:
1.    Apa yang dimaksud dengan talak?
2.    Apa saja dalil disyariatkan talak dan hukum-hukum tentang talak?
3.    Apa saja syarat-syarat bagi orang yang menalak?
4.    Bagaimana ungkapan cerai (Shighat Cerai)?
5.    Berapakah jumlah bilangan talak?
6.    Apa saja macam-macam talak?
7.    Apa saja permasalahan yang terdapat didalam talak?
8.    Apa saja kewajiban-kewajiban suami kepada istri yang ditalak?
9.    Apa saja hikmah dari talak?

C.    Tujuan
Berdasarkan beberapa rumusan masalah di atas dapat diambil tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.    Untuk mengetahui pengertian dari talak.
2.    Dapat mengetahui dalil disyariatkan talak dan hukum-hukum tentang talak.
3.    Agar mengetahui syarat-syarat bagi orang yang menalak.
4.    Supaya memahami ungkapan cerai (Shighat Cerai).
5.    Untuk mengetahui jumlah bilangan talak.
6.    Dapat mengetahui macam-macam talak.
7.    Agar mengetahui permasalahan-permasalahan yang terdapat didalam talak.
8.    Supaya memahami kewajiban-kewajiban suami kepada istri yang ditalak.
9.    Dapat mengetahui hikmah dari talak. 
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Talak
Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan. Talak yang dimaksud adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan mengucapkan lafal tertentu, misalnya suami mengatakan kepada istrinya; “saya talak engkau”, dengan ucapan tersebut lepaslah ikatan pernikahan dan terjadilah perceraian.


B.    Dalil Disyariatkan Talak dan Hukum Talak
1.    Dalil Disyariatkan Talak
Dalil disyariatkan talak adalah Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

        
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah: 229)

 •     
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (Q.S Ath-Thalaq: 1)
Adapun dalam sunnah banyak sekali haditsnya, di antaranya sabda Nabi SAW. : Halal yang paling dimurka Allah adalah Talak.
Oleh karena itu, hubungan antara suami istri adalah hubungan yang tersuci dan terkuat. Tidak ada dalil yang menunjukkan kesuciannya daripada Allah menyebutkan akad antara suami istri sebagai janji yang berat sebagaimana firman Allah SWT: “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa’: 21)

2.    Hukum Talak
Talak menurut hukum asalnya adalah makruh, karena talak merupakan perbuatan yang halal tetapi paling tidak disukai oleh Allah SWT.
Sabda Nabi SAW yang Artinya: Perbuatan yang halal, tetapi dibenci Allah adalah talak” (H.R. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Hukum talak berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasinya, menurut Mahmud Yunus, hukum talak ada lima, yaitu wajib, makruh, mubah (boleh), sunat dan haram.
Dari beberapa pendapat tersebut, Sayyid Sabiq menyatakan pendapat yang paling benar adalah yang mengatakan “terlarang (makruh)”, kecuali karena alasan yang benar. Adapun golongan yang berpendapat seperti ini adalah golongan Hanafi dan Hambali, mereka melandaskan hal ini pada hadits Rasulullah SAW. : “Rasulullah SAW. Bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan bercerai.” (maksudnya suka menikah dan cerai)”
a.    Hukum talak menjadi makruh.
Hukum talak menjadi makruh apabila tidak dibutuhkan atau tidak ada hal-hal yang menyebabkan talak itu harus dilakukan. Misalnya, kondisi suami istri tersebut dalam keadaan yang stabil, sakinah, mawaddah warahmah dan tidak ada perubahan atau permasalahan yang mengkhawatirkan. Bahkan sebagian ulama mengatakan talak diharamkan dalam kondisi seperti ini, hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW. : “Sesuatu yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Nabi SAW. mengatakan hal ini sebagai perbuatan yang halal, tetapi sangat dibenci oleh Allah SWT. ini menunjukkan bahwa dalam kondisi seperti ini hukum talak itu makruh meskipun asalnya mubah. Hal ini dikarenakan talak dalam kondisi seperti ini bisa menghilangkan hubungan pernikahan yang sebenarnya didalamnya terdapat kebaikan-kebaikan hubungan rumah tangga yang dianjurkan oleh syari’at Islam.
b.    Hukum talak menjadi sunah
Hukum talak menjadi sunah apabila talak sangat dibutuhkan, demi mempertahankan pernikahan dari sesuatu yang bisa membahayakan hubungan seorang suami dengan seorang istri. Misalnya terjadi perselisihan yang menyebabkan salah seorang diantara mereka menyimpan dendam atau menyimpan rasa benci terhadap yang lainnya, tentunya hal ini akan sangat merugikan dan membahayakan bagi mereka. Sabda Nabi Muhammad SAW.:“Tidak boleh merugikan diri sendiri dan tidak boleh juga merugikan orang lain.”
c.    Hukum talak menjadi mubah
Hukum talak menjadi mubah (boleh) apabila suami membutuhkan hal tersebut dikarenakan buruknya akhlak sang istri yang hal tersebut bisa membawa bahaya keluarga yang dibinanya. Karena dengan kondisi seperti ini akan sulit mencapai tujuan pernikahan yang sesungguhnya. Apalagi jika pernikahan tersebut tetap dipertahankan.
d.    Hukum talak menjadi wajib
Hukumnya juga bisa menjadi wajib, yaitu talak yang dijatuhkan oleh hakam (penengah), hal ini dikarenakan perpecahan antara suami istri yang sudah berat, sebagaimana dijelaskan oleh Sayyid Sabiq, yaitu jika hakam berpendapat bahwa tatkala jalan satu-satunya untuk menghentikan perpecahan adalah talak. Misalnya, istri sering meninggalkan sholat atau menunda-nunda waktu sholatnya, sedangkan ia tidak bisa lagi untuk dinasehati, atau jika seorang istri tidak bisa menjaga kehormatannya lagi, maka suami wajib mentalak (menceraikannya) demi menjaga kemashlahatan rumah tangganya.
Demikian juga apabila suami tidak dapat istiqamah dalam agamanya atau sampai kehilangan agamanya, maka seorang istri wajib menuntut cerai dari suaminya atau menceraikan dirinya dengan khulu’ atau fidyah.
e.    Hukum talak menjadi haram
Hukum talak bisa menjadi haram ketika talak dilakukan tanpa adanya alasan apapun, yaitu tidak ada tujuan baik dan kemashlahatan apapun yang ingin dicapai dari talak tersebut. Talak juga haram dilakukan oleh seorang suami terhadap istrinya yang sedang haid, nifas atau saat istrinya dalam keadaan suci tapi belum pasti kalau dia tidak hamil.


C.    Syarat-Syarat bagi Orang yang Menalak
1.    Mukallaf
Mukallaf berarti berakal dan baligh. Tidak sah talak seorang suami yang masih kecil, gila, mabuk dan tidur, baik talak menggunakan kalimat yang tegas maupun bergantung. Seperti perkataan anak kecil: “Jika aku baligh istriku tercerai”, atau seorang gila berkata: “Jika aku sadar engkau tercerai”.  Perceraian tidak terjadi sekalipun anak kecil menjadi baligh dan yang gila sudah sadar. Jika talak mereka diterima atau dianggap sah berarti kita menerima perkataan mereka yang sama sekali tidak sah. Adapun talaknya orang bodoh dan orang sakit sah sekalipun bercanda. Sedangkan talaknya orang minum obat atau dipaksa minum khamr tidak sah hukumnya.

2.    Pilihan Sendiri
Tidak sah talaknya orang yang dipaksa tanpa didasarkan kebenaran, dengan alasan karena sabda Nabi SAW.   

    رُفِعَ عَنْ أُمَّتِيْ الخَطَّاءُ وَ النِسْيَانُ وَمَا اسْتَكْرَهُوْا عَلَيْهِ

“Terangkat dari umatku kesalahan, lupa, dan dipaksa.”

3.    Istri yang diikat dengan ikatan pernikahan yang hakiki dengan suami menyeraikannya.


D.    Ungkapan Cerai (Shighat Talak)
1.    Ungkapan Talak dengan Bahasa Jelas (Sharih)
Talak terjadi dengan segala sesuatu yang menunjukkan putusnya hubungan pernikahan, baik dengan menggunakan ucapan, tulisan yang ditujukan kepada istri, isyarat dari seorang suami yang bisu, maupun dengan utusan.
Talak sharih terjadi tanpa niat. Talak sharih menggunakan 3 lafal, yaitu cerai (talak), pisah (firaq), dan terlepas (sarah). Lafal pertama sudah popular, baik secara bahasa maupun syara’. Lafal kedua dan ketiga terdapat dalam Al-Qur’an dengan makna terpisah antara kedua pasang suami istri. Keduanya diungkapkan secara jelas seperti lafal talak. Allah SWT. berfirman: “Maka menahan dengan baik atau melepas dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 229) dan “Tahanlah mereka dengan baik atau pisahlah dengan baik.” (QS. Al-Baqarah: 231) dan Firman-Nya: “Dan jika mereka berpisah Allah mengkayakan mereka dari keluasan-Nya.” (QS. An-Nisa’: 130)

2.    Ungkapan Talak dengan Sindiran (Kinayah)
Lafal talak sindiran (kinayah), yaitu suatu kalimat yang mempunyai arti cerai atau yang lain. Berikut ini beberapa contoh talak sindiran, misalnya engkau bebas, engkau terputus, engkau terpisah, melanggarlah, bebaskan rahimmu, pulanglah ke orangtuamu, pergilah dll.

3.    Talak dengan Isyarat
a.    Isyarat bagi Orang Bisu
Isyarat bagi orang bisu sebagai alat komunikasi. Ia menempati lafal dalam dalam menjatuhkan talak. Jika ia memberi isyarat yang menunjuk pada maksudnya yaitu menghentikan hubungan pasangan suami istri dan semua orang paham, maka talak itu sharih (jelas).
Sebagian para ulama mensyaratkan adanya isyarat apabila orang bisu itu tidak mengetahui tulisan dan tidak mampu menulis. Jika ia mengetahui dan mampu menulis, tidak boleh menggunakan isyarat karena tulisan lebih menunjukkan apa yang dimaksud dirinya, maka tidak boleh pindah kepada isyarat kecuali terpaksa karena tidak ada kemampuan.
b.    Isyarat bagi Orang yang Dapat Berbicara
Ulama berbeda pendapat tentang isyarat orang yang dapat berbicara. Pertama, isyarat talak dari orang yang dapat berbicara tidak sah talaknya, karena isyarat yang diterima dan menempati ucapan bagi haknya orang bisu diposisiskan karena darurat, sedangkan di sini tidak ada darurat. Kedua, isyarat bagi orang yang dapat berbicara dikategorikan talak sindiran (kinayah) karena secara global memberi pemahaman talak.




4.    Talak dengan Tulisan
Talak dapat terjadi dengan tulisan walaupun penulis mampu berkata-kata. Sebagaimana suami boleh menalak istri dengan lafal atau ucapan, ia juga menalak dengan tulisan.

5.    Talak Bebas dan Bergantung
Shighat talak yang bebas adalah shighat yang tidak bergantung pada syarat dan tidak disandarkan pada waktu yang akan datang. Ia dimaksudkan oleh yang mengucapkannya terjadilah talak sekaligus, seperti ucapan suami: “Engkau tertalak”. Hukum talak ini menjatuhkan talak seketika, kapan saja diucapkan oleh ahlinya dan pada tempatnya.
Shighat talak bergantung adalah apa yang dijadikan suami untuk mencapai talak digantungkan pada syarat suatu sifat. Seperti ucapan seorang suami kepada istri: “Jika engkau pergi ke teater maka engkau tertalak”.

6.    Shighat Talak pada Masa yang Akan Datang
Talak terkadang disandarkan pada masa yang akan datang dengan tujuan talak kapan waktu itu datang. Seperti perkataan suami kepada istrinya: “Engkau tertalak besok atau besok awal tahun”.  Talak terjadi besok atau awal tahun apabila wanita itu masih miliknya pada saat datangnya waktu yang disandari tersebut.

7.    Persaksian Talak
Menurut pendapat Jumhur Fuqaha’ baik salaf maupun khalaf menjatuhkan talak tidak perlu saksi, karena talak itu sebagian dari hak suami maka tidak perlu ada bukti atau saksi untuk melaksanakan haknya.
Berbeda dengan pendapat Fuqaha’, Syiah Imamiyah yang mengatakan, bahwa persaksian itu menjadi syarat sahnya talak dengan dalil firman Allah SWT.: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.” (QS. Ath-Thalaq: 2)
Selain itu terdapat beberapa mazhab sebagian sahabat dan tabi’in yang mengatakan bahwa ketika melakukan talak perlu adanya seorang saksi.

8.    Pemberian Kekuasaan/Penyerahan Talak (Kepada Istri)
Talak itu diantara hak suami, ia boleh mencerai istri sendiri dan boleh menyerahkannya pada wanita untuk menceraikan dirinya. Fuqaha’ telah membicarakan yang kedua ini, misalnya seorang suami berkata kepada istri: “Talaklah diri engkau sendiri jika engkau mau”. Fuqaha’ juga menyebutkan contoh bentuk lain misalnya, “Pilihlah dirimu urusanmu ditanganmu”.


E.    Bilangan Talak
Bilangan talak maksimal tiga kali, artinya suami berhak menjatuhkan talak kepada istrinya sampai tiga kali. Pada talak satu dan talak dua, suami berhak rujuk (kembali) kepada istrinya sebelum habis masa iddahnya atau nikah lagi apabila iddahnya sudah habis. Pada talak tiga, suami tidak boleh rujuk dan tidak boleh nikah kembali, sebelum istrinya itu nikah dengan laki-laki lain dan sudah digauli serta sudah ditalak oleh suami keduanya itu.
Menurut  Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang “perkawinan”, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Oleh karena itu talak merupakan ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Selanjutnya dinyatakan, “seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tulisan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai dengan alasan serta memeinta diadakan sidang untuk keperluan. Dan perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan siding “pengadilan”.


F.    Macam-Macam Talak
1.    Talak menurut bentuknya
Talak yang dijatuhkan suami kepada istri ada beberapa macam bentuknya, yaitu sebagai berikut.
a.    Fasakh
Fasakh adalah pembatalan nikah yang dilakukan oleh pengadilan karena salah satu pihak (suami atau istri) tidak dapat melaksanakan kewajibannya. Pada dasarnya, fasakh adalah hak suami dan istri. Tetapi karena suami sudah mempunyai hak talak, maka fasakh biasanya diusulkan oleh pihak  istri. Alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan fasakh, antara lain:
1)    suami cacat tubuh yang serius;
2)    suami tidak memberi nafkah kepada istri;
3)    suami berselingkuh dengan wanita lain;
4)    suami murtad atau pindah agama.
Akibat perceraian dengan fasakh, suami tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya.  Namun, kalau ingin kembali sebagai suami-istri harus melalui akad nikah baru.
Berbeda dengan khulu’, fasakh tidak mempengaruhi bilangan talak. Artinya, walaupun fasakh dilakukan lebuh dari tiga kali, bekas suami-istri itu boleh menikah kembali, tanpa bekas istrinya harus menikah dulu dengan laki-laki lain.
b.    Khulu’
Menurut istilah bahasa, khulu’ berarti tanggal. Dalam ilmu Fiqh, khulu’ adalah talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya, dengan jalan tebusan dari pihak istri, baik dengan jalan mengembalikan mas kawin kepada suaminya, atau dengan memberikan sejumlah uang atau (harta) yang disetujui oleh mereka berdua.
Akibat perceraian dengan cara khulu’, suami tidak dapat rujuk, walaupun bekas istrinya masih dalam masa ‘iddah. Akan tetapi, kalau bekas suami-istri itu ingin kembali, harus melalui akad nikah baru.
Berbeda dengan fasakh, khulu’ dapat mempengaruhi bilangan talak. Artinya, kalau sudah tiga kali dianggap tiga kali talak (talak ba’in kubra), sehingga suami tidak boleh menikah lagi dengan bekas istrinya, sebelum bekas istrinya itu menikah dulu dengan laki-laki lain, bercerai, dan habis masa ‘iddahnya.
c.    Ila’
Ila’ ialah sumpah suami bahwa tidak akan mencapuri istrinya. Ila’ merupakan adat Arab jahiliyah. Mereka bersumpah tidak akan menggauli istrinya dengan maksud menyakitinya dan membiarkan ia menderita berkepanjangan tanpa ada kepastian dicerai atau tidak.
Jika seorang laki-laki tidak senang lagi kepada istrinya, dan ia pun tidak suka pula kalau nanti istrinya dinikahi orang lain, maka ia melakukan ila’ yaitu bersumpah tidak akan menggauli istrinya itu.
d.    Li’an
Li’an ialah saling melaknat antara suami dan istri. Lian terjadi karena salah satu (suami/istri) menuduh yang telah berbuat zina, sementara yang dituduh bersikeras menolak tuduhan. Apabila tidak dapat diselesaikan secara baik-baik, keduanya datang ke Pengadilann Agama untuk diadakan sumpah dihadapan hakim. Di hadapan hakim penuduh disuruh bersumpah sebanyak lima kali, empat kali sumpah bahwa “Demi Allah, engkau (suami/istri) telah berbuat zina”. Yang kelima bersumpah bahwa “Aku (suami/istri) bersedia menerima laknat Allah jika berdusta”. Apabila penuduh tidak mau bersumpah, ia ditahan sampai mau bersumpah atau mencabut tuduhannya.


e.    Dzihar
Dzihar, yaitu ucapan suami kepada istrinya yang berisi penyerupaan istrinya dengan ibunya seperti kata suami; Engkau seperti punggung ibuku. Pada zaman Jahiliah, Dzihar dianggap sebagai salah satu cara menceraikan istri. Kemudian Islam melarangnya, dan menyatakan haram hukumnya. Suami yang terlanjur mendzihar istrinya sebelum mencampuri membayar kifaratnya adapun kifarat dzihar adalah memerdekakan budak, jika tidak mampu, harus berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak kuat puasa, wajib memberi makan 60 orang miskin.

2.    Talak menurut hukumnya
Ditinjau dari segi keadaan istri, talak itu dibagi dua macam, yaitu sebagai berikut.
a.    Talak sunny
Talak sunny adalah talak yang dijatuhkan seorang suami kepada istrinya, ketika istrinya sedang suci sedang suci, yaitu tidak sedang haid; atau istri dalam keadaan suci dan tidak dicampuri; atau sama sekali belum dikumpuli; atau dalam keadaan hamil. Hukumnya boleh dilakukan.
b.    Talak bid’i
Talak bid’i adalah talak yang dijatuhkan suami, ketika istrinya sedang haid, atau sedang suci tetapi telah dicampuri, atau talak dua/tiga sekaligus. Talak bid’i hukumnya haram.

3.    Talak menurut sifatnya
Ditinjau dari segi sifatnya atau cara menjatuhkannya talak itu terbagi dua, yaitu sebagai berikut.
a.    Talak sharih
Talak sharih adalah talak yang diucapkan suami dengan ucapan yang jelas, yaitu ucapan talak (cerai), firaq (pisah), atau sarah (lepas). Talak yang diucapkan dengan menggunakan kata-kata tersebut  dinyatakan sah dengan tidak diragukan lagi keabsahannya. Jadi bahwa talak sharih adalah talak yang diucapkan dengan tegas yang perkataan tersebut bermaksud dan bertujuan menjatuhkan talak seperti kata talak atau cerai. Adapun contoh lafal yang sharih diantaranya:
1)    aku ceraikan kau dengan talak satu;
2)    aku telah melepaskan (menjatuhkan) talak untuk engkau;
3)    hari ini aku ceraikan kau.
Jika suami melafalkan talak dengan menggunakan kalimat yang "Sharih" seumpama di atas ini, maka talak dikira jatuh walaupun tanpa niat. Hal ini, senada dengan pendapat imam Syafi’i dan Abu Hanifah, beliau berkata bahwa talak sharih tidak membutuhkan niat.

b.    Talak kinayah
Talak kinayah adalah ucapan yang tidak jelas maksudnya, tetapi mengarah kepada perceraian. Misalnya dengan ucapan yang bernada mengusir, menyuruh pulang  atau ucapan yang  bernada tidak memerlukan lagi dan sejenisnya. Jika ucapan itu diniatkan talak, maka talaknya jatuh, karena itu untuk menghindari terjadinya talak kinayah, sebaliknya suami berhati-hati  dalam menggunakan kata-kata kepada istrinya, nabi bersabda yang artinya:
“Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Rasulllah bersabda: Ada tiga perkara yang apabila disungguhkan jadi dan bila main-mainpun tetap jadi, yaitu nikah, talak, dan rujuk”.
Sementara talak kinayah pula membawa maksud kalimat yang secara tidak langsung yang mempunyai dua atau lebih pengertiannya. Umpamanya jika suami melafalkan kepada istrinya perkataan:
1)    kau boleh pulang ke rumah orang tuamu;
2)    pergilah engkau dari sini, ke mana engkau suka;
3)    kita berdua sudah tidak ada hubungan lagi.
Mengenai talak kinayah ini, para ulama tidak terjadi perbedaan pendapat mengenai akibat hukumnya, diantaranya pendapat-pendapat yang diungkapkan para ulama seperti halnya Mazhab Hanbali mereka berpendapat bahwa talak dengan ucapan kinayah sekiranya suami melafalkan kepada istrinya dengan niat menceraikannya maka jatuh talak. Selain itu Jumhur Ulama berpendapat bahwa ucapan talak kinayah akan jatuh talaknya apabila dengan adanya niat.
Talak dengan cara kinayah tidak jatuh kecuali dengan niat seperti yang diterangkan di atas, kecuali apabila seorang suami dengan tegas mentalak tetapi ia berkata: saya tidak berniat dan tidak bermaksud mentalak, maka talaknya tetap jatuh. Apabila seorang menjatuhkan talak secara kinayah tanpa maksud mentalak maka tidak jatuh talaknya, karena kinayah memiliki arti ganda (makna talak dan selain talak), dan yang dapat membedakanya hanya niat dan tujuan.

4.    Talak menurut hak rujuk suami istri
a.    Talak raj’i
Talak raj’i adalah talak yang boleh suami rujuk kembali kepada bekas istrinya dengan tidak perlu melakukan perkawinan baru dan masih dalam masa iddah sang istri, seperti talak satu dan talak dua yang tidak disertai dengan uang (iwad) dari pihak istri.
b.    Talak ba’in
Talak ba’in adalah talak yang tidak boleh dirujuki kembali oleh seorang suami kepada bekas istrinya, kecuali dengan akad nikah baru.
1)    Talak ba’in kecil
Talak ba’in kecil adalah talak satu dan talak dua yang disertai dengan uang (iwad) yang diberikan oleh pihak istri kepada suami. Selain itu, suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya yang belum dicampuri, juga termasuk talak ba’in kecil. Jika talak ba’in kecil ini telah terjadi dan ingin rujuk kembali, maka harus menikah dengan akad nikah yang baru.
2)    Talak ba’in besar
Talak ba’in besar adalah talak tiga. Suami yang menjatuhkan talak tiga kepada istrinya, tidak boleh rujuk kembali dengan bekas istrinya, kecuali bekas istrinya itu telah menikah dengan laki-laki lain, serta telah bersetubuh, bercerai dan telah habis masa iddahnya.


G.    Permasalahan Tentang Talak
1.    Talaknya Orang Bercanda
Talaknya orang bercanda, misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya: “Engkau tercerai.” Atau seorang istri berkata dipentas permainan, “Ceraikan saya.” Suami berkata: “Aku cerai engkau.” Istri menjadi tercerai karena ia bermaksud menggunakan lafal cerai atau talak, bercanda dan bermain tidak dapat menolaknya. Ini pendapat Jumhur Fuqaha’ yang melihat terjadinya talak dari orang yang bercanda sebagaimana pula sah nikahnya.
Jumhur Fuqaha’ diantara Syafi’I mengambil dalil hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, At-Tirmidzi yang menilai hasan dan Al-Hakim yang menilai shahih dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “Tiga perkara, sesungguhnya jadi sungguh-sungguh dan bercandanya menjadi sungguhan, yaitu nikah, talak, dan rujuk.”

2.    Talaknya Orang Terpaksa
a.    Pengertian Terpaksa
Menurut bahasa, terpaksa adalah paksaan yang membawa seseorang untuk melakukan sesuatu yang dibencinya. Orang yang terpaksa tidak bertanggung jawab atas segala sesuatu yang diperbuat karena dalam realitanya ia bertindak melaksanakan kehendak orang yang memaksa.
b.    Hukum talaknya orang terpaksa
Talaknya orang terpaksa tidak menjatuhkan talak dengan syarat tidak didapatkan bukti-bukti yang menunjukkan adanya pilihan-pilihan dan keterpaksaannya pada sesuatu yang tidak benar.  Demikian pendapat ulama Syafi’yah, Malikiyah, Hanabilah, Umar bin Khaththab, putranya Abdullah, Ali Bin Abi Thalib, dan Ibnu Abbas.
Abu Hanifah dan para sahabatnya berpendapat, talaknya orang terpaksa itu dapat mengakibatkan jatuhnya talak. Namun, tidak ada hujjah bagi pendapat mereka ini apalagi bertentangan dengan pendapat Jumhur sahabat.
Bahwa ada seorang laki-laki mengulurkan tali untuk memotong madu, kemudian datanglah istrinya berkata: ”Sungguh aku potong tali atau emgkau mencerai aku,” lalu laki-laki itu mencerainya (secara terpaksa). Kemudian ia datang menghadap Umar, melaporkan apa yang terjadi dengan istrinya, Umar berkata: “Kembalilah kepada istrimu, sesungguhnya demikian itu tidak tercerai.” Demikian juga Ali tidak memperbolehkan cerainya orang terpaksa.

3.    Talaknya Pemabuk
Imam Al-Juwaini menyatakan, peminum khamr memiliki tiga kondisi:
a.    guncang dan semangat tetapi tidak hilang akalnya. Dalam kondissi ini talaknya dapat terlaksana;
b.    sampai puncak kemabukan, ia jatuh pingsan, tidak berbicara, dan tidak bergerak. Dalam kondisi ini tidak terlaksana talaknya, seperti halnya orang pingsan;
c.    berada ditengah-tengah antara dua kondisi diatas, yakni perkataan dan perbuatannya mengacau, tetapi tetap masih bias membedakan dan paham. Kondisi ini diperselisihkan talaknya, yakni jika ia mabuk dengan barang mubah, seperti minum pil atau jamu dengan niat berobat kemudian hilang akalnya maka tidak terjadi talaknya.
Akan tetapi, jika ia mabuk sebab barang haram, ulama Asy-Syafi’iyah berbeda pendapat:
a.    talaknya terjadi secara sah karena dialah yang menjadikan penyebabnya, yakni memasukkan barang haram yang emrusak akal dengan sengaja;
b.    talak tidak terjadi karena pemabuk tidak berakal. Sedangkan akal menjadi sebagaian syarat bagi perlakuan seseorang. Bagi seorang pemabuk tidak paham dan tidak mempunyai tujuan yang benar. Oleh karena itu, talaknya sia-sia dan tidak diterima. Ia dan orang gila sama.
Akhirnya, pendapat diatas berlaku di Mahkamah yang tertuang pada materi pertama pada UU No. 25 Tahun 1929 yang berbunyi: “Tidak jatuh talaknya pemabuk dan orang terpaksa.”

4.    Talaknya Pemarah
Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, pemarah yang tidak sadar apa yang dikatakan dan tidak mengetahui apa yang keluar dari dirinya tidak jatuh talaknya, karena tidak ada kehendak atau keinginan untuk itu.
Syaikh Al-Islam menambahkan, pemarah itu ada tiga macam, yaitu sebagai berikut.
a.    Marah yang menghilangkan akal sehingga tidak sadar apa yang dikatakan. Pemarah ini tidak jatuh talak tanpa ada pertentangan antara para ulama.
b.    Marah yang masih dalam prinsip-prinsip marah sehingga tidak mencegah kesadaran apa yang dikatakan dan apa yang dimaksudkan. Kondisi ini jatuh talak tanpa ada pertentangan.
c.    Sangat marah tidak hilang akalnya secar keseluruhan, tetapi terhalang antara ia dan niatnya sehingga menyesali kelalaian ketika sadar. Kondisi ini menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di antara para ulama, tetapi pendapat tidak jatuh talak dalam kondisi ini lebih kuat.
H.    Kewajiban-Kewajiban Suami kepada Istri yang Ditalak
Seorang suami yang telah menceraikan istrinya, mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, bahkan menurut Mahmud Yunus, jika kewajiban-kewajiban tersebut tidak dipenuhi, maka bekas istrinya dapat mengajukan tuntutan kepada Hakim.
Adapun kewajiban-kewajiban tersebut adalah sebagai berikut.
1.    Memberikan mut’ah (pemberian untuk menggembirakan hati) yang pantas kepada bekas istrinya, baik berupa benda atau uang.
2.    Memberi nafkah atau pakaian dan tempat tinggal selama bekas istrinya dalam masa iddah.
3.    Membayar atau melunasi mas kawin apabila belum di bayar atau belum di lunasi.
4.    Memberi belanja untuk pemeliharaan dan kewajiban bagi pendidikan anak-anaknya menurut batas kesanggupannya, sampai anak-anaknya itu baligh lagi berakal dan mempunyai penghasilan.


I.    Hikmah Talak
Ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari dibolehkanya talak dalam sebuah perkawinan, antara lain sebagai berikut.
1.    Sebagai jalan keluar darurat dari kemelut rumah tangga yang berkepanjangan sebagian akibat tidak harmonisnya hubungan antara suami istri.
2.    Apabila tidak ada perceraian, akan terjadi beberapa kendala dalam penyelesaian masalah yang menyangkut hukum, seperti contoh: apabila setelah menikah baru diketahui bahwa istri/suaminya itu masih mahram (satu darah), atau istri/suaminya itu seorang musyrik, atau penipu dan sangat membahayakan, atau istri/suaminya mempunyai perangai yang tidak baik, maka perceraian lebih baik yang harus terjadi.
3.    Perceraian merupakan alat untuk meredam kemarahan dan sikap membenci yang terdapat pada kedua belah pihak.
4.    Perceraian memungkinkan kedua belah pihak akan kembali saling menghormati dan menghargai satu sama lainnya. Dan akan menyadari bahwa persaudaraan sesama muslim harus dibina kembali, tanpa harus menyimpan dendam.
5.    Sebagai pembuka jalan untuk merintis kembali mencari pasangan baru yang lebih sesuai setelah mendapat pengalaman dari kegagalan berumah tangga sebelumnya.
6.    Sebagai bukti keluwesan hukum Islam.  Islam berbeda dengan hukum agama lain dan juga Islam memberi hak kebebasan untuk memilih pada umatnya.
7.    Sebagai bahan perenungan untuk berbuat lebih baik pada masa yang akan datang karena dengan adanya perceraian pasangan suami istri dapat belajar banyak hal.
8.    Hak kebebasan memilih benar-benar dihormati dalam Islam. Artinya, ketika  pasangan suami istri sudah tidak merasa cocok lagi satu sama lain jika dipertahankan akan menyiksa batin, seseorang memiliki hak untuk berpisah (talak). 
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan data di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Pernikahan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan muhrimnya sebagai suami istri dengan tujuan untuk membina suatu rumah tangga yang bahagia berdasarkan tuntunan Allah SWT.
Islam mengatur kehidupan keluarga dengan segala perlindungan dan pertanggungan syariatnya. Yang pokok dalam hubungan keluarga adalah ketenangan dan ketentraman. Islam juga menegakkan bahwa kepemimpinan rumah tangga adalah ditangan suami. Karena suami lebih mampu memimpin dan mengendalikan pertikaian.
Apabila suami tidak dapat memimpin dan mengendalikan pertikaian dalam keluarga, maka sebuah hubungan keluarga yang tenang dan tentram tidak akan terwujud. Jika suatu pernikahan sudah tidak dapat dipertahankan lagi, hubungan tersebut dapat dilepas dengan melakukan perceraian.
Talak merupakan putusnya tali pernikahan yang telah dijalin oleh suami istri. Hukum talak itu sendiri adalah makruh, akan tetapi dapat berubah sesuai dengan kondisinya.
Meskipun talak adalah melepaskan diri dari ikatan pernikahan, dibolehkannya talak dalam sebuah pernikahan memiliki hikmah yang dapat dipetik oleh umat Islam. Diantaranya adalah sebagai bukti keluwesan hukum Islam yang berbeda dengan hukum agama lain dan juga Islam memberi hak kebebasan untuk memilih pada umatnya dan sebagai bahan perenungan untuk berbuat lebih baik pada masa yang akan datang karena dengan adanya perceraian pasangan suami istri dapat belajar banyak hal.



B.    Pendapat Kelompok
Menurut kelompok kami dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Menikah merupakan bersatu atau berkumpul antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan muhrimnya untuk membangun rumah tangga sebagai suami istri menurut ketentuan agama Islam. Pada dasarnya cinta merupakan sesuatu yang suci. Jika dibingkai  dengan bingkai yang halal, maka cinta akan menjadi halal, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk membingkainya dalam sebuah pernikahan.
Allah SWT. menjadikan pernikahan sebagai sebuah ikatan yang suci dan sakral. Ikatan suci ini dapat putus karena beberapa hal seperti perceraian. Perceraian juga dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah talak.
Dalam sebuah pernikahan, suami-istri dituntut untuk saling menjaga perilaku dan tutur kata, karena segala perkataan yang bertujuan untuk berpisah atau bercerai dalam suatu hubungan (suami-istri) itu sudah dapat dikatakan sebagai talak. Oleh sebab itu, apabila pasangan (suami-istri) tersebut lalai dalam menjaga perilaku ataupun tutur katanya dalam suatu keadaan seperti ketika bercanda, marah, ataupun mabuk sekalipun dapat menyebabkan putusnya suatu pernikahan.
Hukum talak adalah makruh, yaitu perbuatan yang halal akan tetapi perbuatan yang paling dibenci oleh Allah. Hukum talak dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaannya. Talak dibagi lagi menjadi beberapa macam, berdasarkan bentuknya, hukumnya, sifatnya, serta menurut bentuk rujuk suami istri.
Pencerai dapat diterima talaknya apabila ia adalah seorang mukallaf yaitu seorang yang baligh dan berakal, selain itu juga harus pilihan sendiri, tanpa ada paksaan atau apapun. Ucapan talak juga terdiri dari beberapa macam yaitu ucapan talak dengan bahasa yang jelas, dengan sindiran, isyarat, tulisan, dan lain-lain.
Di dalam talak juga terdapat banyak permasalahan, yaitu tentang hukum-hukum diperbolehkannya atau tidak seorang yang menalak ketika sedang bercanda, marah ataupun mabuk.
Akan tetapi, talak juga membawa hikmah salah satunya apabila tidak ada perceraian, akan terjadi beberapa kendala dalam penyelesaian masalah yang menyangkut hukum, seperti contoh: apabila setelah menikah baru diketahui bahwa istri/suaminya itu masih mahram (satu darah), atau istri/suaminya itu seorang musyrik, atau penipu dan sangat membahayakan, atau istri/suaminya mempunyai perangai yang tidak baik, maka perceraian lebih baik yang harus terjadi.
Dengan adanya pembahasan tentang talak ini, pemakalah berharap kepada kita semua agar ketika kita sudah menikah dapat menjalin hubungan dengan harmonis dan tidak main-main dengan ucapan kita tentang talak. Semoga kita dapat mengerti hukum-hukum tentang talak dan dapat mengambil hikmah dari setiap apa yang kita jalani. Selain itu, pemakalah juga berharap agar pembahasan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan kita semua serta dapat mengajarkannya dengan baik ketika telah menjadi seorang guru di masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Syamsuri. 2007. Pendidikan Agama Islam SMA. Jakarta: Erlangga.
Latifah. 2004. Agama Islam Lentera Kehidupan. Jakarta: Yudhistira.
Margiono. 2007. Pendidiakn Agama Islam 3. Jakarta: Yudhistira.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2009. Fiqh Munakahat. Jakarta: Amzah.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 1960. Fiqh Lima Mazhab. Beirut: Lentera.
Basori, Khabib. 2010. Pendidikan Agama Islam. Klaten: Intan Pariwara.
Fitriana, Anisyah. 2012. Pendidikan Agama Islam SMA. Solo: Kharisma.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar