Find Us :

Followers

About Me

Followers

RSS

IDDAH DAN RUJUK

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Islam adalah agama yang sangat majemuk,artinya agama islam memberikan tuntunan dan petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupan, dan tidak sekedar saja dalam member petunjuk namun agama islam memberikan penjelasn-penjelasanya dari hal yang terkecil sampai yang terbesar.
Seperti halnya dalam bidang perkawinan,yakni juga memberikan petunjuk dan penjelasan secara mendalam.Semua dapat kita gali didalam al-Quran.Misalnya saja sperti; petunjuk dalam pernikahan yang meliputi syarat,rukun,serta larangan dalam pernikahan.Begitupun juga apabila terjadi putus dalam perkawinan agama islam memberikan tuntunan yang sangat kompeten bagi umatnya,diantaranya; hukum-hukum yang berlaku ketika terjadi perpisahan yang termasuk didalamnya masa iddah dan ruju’.
Berdasrkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk membuat makalah dengan judul  “Masa Iddah dan Ruju’.
B.    Rumusan Masalah
Melihat latar belakang diatas,maka dapat dirumuskan permasalahanya sebagai berikut:
1.    Apa pengertian,tujuan,dan hikmah dalam iddah?
2.    Hal-hal apasaja yang menyebabkan perbedaan waktu didalam masa iddah?
3.    Bagaiman denganhak istri didalam masa iddah?
4.    Apa  pengertian, hukum dan tujuan dari ruju’?
5.    Bagaimana syarat-syarat dan rukun untuk ruju’?


C.    Tujuan
Diharapkan setelah membaca makalah ini mampu memahami tentang:
1.    Pengertian,tujuan,dan hikmah dalam iddah
2.    Perbedaan waktu didalam masa iddah
3.    Hak istri didalam masa iddah
4.    Pengertian, hukum dan tujuan dari ruju’
5.    Syarat-syarat dan rukun untuk ruju’?














BAB II
PEMBAHASAN

I
A.    Iddah
1.    Pengertian Iddah
Iddah berasal dari kata adad, artinya menghitung. Maksudnya adalah perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.
Dalam istilah agama, iddah mengandung arti lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh menikah setelah kematian suaminya atau setelah bercerai dari suaminya.
Jadi, iddah artinya satu masa dimana perempuan yang telah diceraikan, baik cerai mati atau cerai hidup, harus menunggu untuk meyakinkan apakah rahimnya telah berisi atau kosong dari kandungan. Allah berfirman:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
Artinya:  "wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tigakaliQuru')…"(Q.S.AlBaqarah:228)

2.    Tujuan dan HikmahHukum
Adapun tujuan dan hikmah dan diwajibkanya iddah itu adalah;
Pertama, untuk mengetahui bersihnya Rahim perempuan tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh ulama, pendapat itu didasarkan pada 2alur pikiran yakni: 1.Bibit yang ditinggalkan mantan suminya dapat berbaur dengan orang yang akan mengawininya untuk menciptakan satu janin dalam perut perempuan tersebut. Dengan pembauran itu diragukan anak siapa sebenarnya yang dikandung oleh perempuan tersebut. Tidakada cara untuk mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah dengan suaminya mengandung bibit dari mantan suaminya atau tidak kecuali dengan datangnya beberapakali haid dalam masa itu. Maka diperlukan masa tunggu.
 Kedua, untuk taabud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari allah meskipun secara rasio kita mengira tidak perlu lagi. Contoh dalam hal ini, umpamanya perempuan yang kematian suami dan belum digauli oleh suaminya itu, masih tetap menjalani masa iddah, meskipun dapat dipastikan bahwa mantan suaminya tidak meninggalkan bibit.
Adapun hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah, agar suami yang telah mencerai istrinya itu berpikir kembali dan menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal, dengan adanya iddah dia dapat menjalin kembali hidup perkawinan tanpa mengadakan akad baru.

3.    Syarat Wajib Iddah
Syarat wajib iddah ada2 yaitu:
a.     Matinya suami.Bila istri bercerai dengan suaminya karena suaminya meninggal dunia, maka perempuan itu wajib menjalani masa iddah, dia telah bergaul dengan suaminya atau belum. Dasar hukumnya yakni surat Al-baqarah ayat234:
                             
Artinya: Orang orang yang meninggal diantaramu dan meninggalkan istri hendaknya dia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari. Bila telah sampai waktu yang ditentukan boleh dia berbuat terhadap dirinya dengan cara yang baik. Allah maha tau terhadap apa yang mereka lakukan.
b.    Istri sudah bergaul dengan suaminya. Bila suami belum bergaul dengan istrinya, maka istri tersebut tidak memenuhi syarat untuk dikenai kewajiban beriddah. Ketentuan ini berdasarkan surat Al-Ahzab ayat49:
                         
Artinya: Hai orang-orang yang beriman bila kamu menikahi perempuan-perempuan beriman kemudian kamu menceraikanyya sebelumkamu menggaulinya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk beriddah terhadapmu.

4.    Macam-macam Iddah
Menurut sebab musababnya, iddah itu terbagi atas beberapa macam, yaitu:
a.    Iddah Talak, artinya iddah yang terjadi karena perceraian. Perempuan yang berada dalam iddah talak, yaitu:
1)    Perempuan yang telah dicampuri dan ia belum putus dalam haid. Iddahnya ialah tiga kali suci dan dinamakan juga tiga kali quru'. Firman Allah SWT:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِر

Artinya:"wanita-wanita yang ditolak hendaknya menahan diri (menunggu tiga kali Quru'). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat".(Q.S. Al-Baqarah:228)

Mengenai arti quru' dalam ayat tersebut, terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama' fiqih, antara lain:
Sebagian fuqoha berpendapat bahwa quru' itu artinya suci , yaitu masa diantara dua haid. Pendapat ini dari kalangan fuqoha anshor, seperti: Imam Malik, Imam Syafi'I,dan kebanyakan fuqoha dari madinah, juga Abu Saur, sedangkan dari kalangan sahabat antara  lain: Ibnu Umar, Zaid bin Tsabit, dan Aisyah r.a.
Adapun fuqoha yang berpendapat bahwa quru' adalah haid. Terdiri dari Imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Al-Auza'li, Ibnu Abi Laila. Dari kalangan sahabat antara lain: Ali r.a., Umar bin Khathab r.a., Ibnu Mas'ud r.a., dan Abu Musa Al-Asy'ari r.a.
                                
Artinya: "Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan ynga hamil, waktu iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungannya".(Q.S. At-Thalak:4)
Jika kata "quru'un" dimaksudkan untuk pengertian suci, tentu iddah menurut golongan pertama dapat terjadi dengan dua setengah quru'un. Karena mereka berpendapat bahwa istri dapat beriddah dengan masa suci ketika ia dijatuhi talak, meskipun sebagian besar masa itu telah lewat. Jika demikian halnya, maka sebenarnya tiga kali masa suci tidak dapat disebut tiga, kecuali dengan pelampauan sebutan. Padahal sebutan tiga itu jelas dipakai untuk kelengkapan quru'un. Dengan demikian hal itu tidak sesuai kecualijika kata quru' itu berarti haid. Karena telah menjadi ijma' bahwa apabila istri telah diceraikan pada waktu haid, maka waktu haid ini tidak dihitung dalam bilangan iddahnya.
Masing-masing golongan mempunyai alasan yang kuatnya dari segi kata quru'un. Akan tetapi, pendapat yang diterima oleh para cendekiawan adalah bahw ayat tersebut memuat ketentuan yang mujmal (tidak gamblang) mengenai persoalan tersebut. Oleh karena itu harus dicari dalil bagi persoalan ini dari segi yang lain.
Alasan terkuat yang dijadikan pegangan oleh fuqoha yang berpendapat bahwa quru' itu berarti suci adalah hadits Ibnu umar, Nabi SAW bersabda:

مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَاحَتَّى يَحِيْضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيْضَ حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَااِنْ شَآءَقَبْلَ أَنْ يَمَسَّهَافَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى اَمَر اللَّهُ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءَ
Artinya: "Suruhlah dia, hendaklah ia merujuk istrinya sehingga ia haid, kemudian suci, kemudian haid lagi,kemudian menceraikannya jika mau, sebelum ia menyentuhnya. Demikian itulah iddah yang di perintahkan oleh Allah untuk menceraikan istri."
Mereka berpendapat bahwa ijma' fuqoha adalah tentang terjadinya talak suami pada masa suci yang tidak ada pergaulan padanya, demikian juga kata-kata Nabi SAW. Itulah iddah yang di perintahkan oleh Allah untuk menceraikan istri dan merupakan dalil yang jelas bahwa iddah adalah suci, agar talak dapat bersambung dengan iddah. Tetapi kata-kata Nabi SAW. Tersebut dapat pula diartikan bahwa masa tersebut adalah masa menghadapi iddah, agar quru' tidak terbagi-bagi dengan adanya talak dimasa haid.
Alasan paling kuat bagi fuqoha golongan kedua adalah bahwa iddah itu diadakan untuk mengetahui kosongnya rahim wanita yang di talak. Sedang kosongnya rahim dapat diketahui dengan haid, bukan dengan masa suci. Oleh karena itu iddah yang sudah monopouse adalah dengan ukuran hari yakni tiga bulan. Jadi haid merupakan sebab adanya iddah dengan quru'un. Oleh karena itu, quru'un harus diartikan haid.
Selanjutnya fuqoha yang mengatakan bahwa quru'un adalah masa suci mengemukakan alasan bahwa yang menjadi pedoman bgi kosongnya rahim seorang wanita adalah masa perpindahan darisuci kepada haid. Oleh karena itu, tidak ada artinya untuk berpegang padahaid yang terakhir. Jika demikian halnya, maka bilangan tiga yang diisyaratkan harus lengkap adalah masa-masa suci diantara dua haid.
2)    Perempuan yang di campuri dan tidak berhaid, baik ia perempuan yang belum baligh maupun perempuan tua yang tidak haid.
Perempuan yang tidak berhaid sama sekali sebelumnya, atau kemudian terputus haidnya, maka iddahnya adalah tiga bulan. Firman Allah SWT:
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
Artinya: "Dan perempuan-perempuan yang putus asa dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid".(At-Thalak:4)



3)    Perempuan yang tertalak dan belum disetubuhi
Bagi perempuan seperti ini, tidak ada iddah baginya.  Firman Allah SWT:
                         
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya."(Q.S. Al-Ahzab:49).
Dari uraian diatas, maka dapaat disimpulkan bahwa hak suami selama istri yang ditalak dalam masa iddah, maka ia boleh merujuknya kembali, kecuali kepada mantan istrinya yang ditalak ba'in sebab apabila suami hendak kembali kepada mereka harus dengan akad nikah baru. Khusus dalam talak tiga, apabila mantan suami hendak merujuk kembali, maka mantan istri harus sudah menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai serta sudah bercampur dengan suami kedua. Sedang dalam talak li'an, suami sama sekali tidak mempunyai hak untuk merujuk kembali.
Adapun kewajiban kepada mantan istri yang ditalak, maka selama dalam masa iddah, ia wajib memberikan nafkah dan tempat tinggal sesuai dengan jenis talaknya.




b.    Iddah Hamil
Artinya iddah yang terjadi apabila perempuan-perempuan yang diceraikan itu sedang hamil. Iddah mereka adalah sampai melahirkan anak. Firman Allah SWT:
...وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
Artinya: "Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikannya baginya kemudahan dalam urusannya."
Perceraian ini terjadi baik cerai hidup ataupun cerai mati. Dalam sebuah hadits Nabi SAW. Disebutkan:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ، حَدَّثَنَا مَالِكٌ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنِ المِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ: أَنَّ سُبَيْعَةَ الأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ، فَجَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ، «فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ (رواه البخارى)
Artinya: "Dari Miswar bin Mukhazamah r.a bahwa Subai'ah Al-Aslamiyah, pernah melahirkan anak sesudah suaminya meninggal dalam beberapa malam berselang. Kemudian ia datang kepada Nabi SAW. minta izin untuk menikah, lalu diizinkan oleh Rasulullah SAW. maka iapun menikah."(HR. Bukhari).
Kalau hamil dengan anak kembar, maka iddahnya belum habis sebelum anak kembarnya lahir semua. Sedangkan perempuan yang keguguran, maka iddahnya ialah sesudah melahirkan pula. Ayat itu menunjukkan bahwa iddah mati, sempurna badannya atau cacat, ruhnya ditiupkan atau belum.



c.    Iddah Wafat
Yaitu iddah terjadi apabila seorang perempuan ditinggal mati oleh suaminya. Dan iddahnya selama empat bulan sepuluh hari. Firman Allah SWT:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا......

Artinya: "Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah)empat bulan sepuluh hari."(Q.S. Al-Baqarah:234).
Apabila perempuan ditalak raj'I oleh suaminya, kemudian suaminya meninggal selama ia masih masa iddah, maka perempuan itu iddahnya seperti perempuan yang ditinggal mati suaminya. Karena ketika ia ditinggal mati suaminya, pada hakikatnya ia masih sebagai istrinya.
Kecuali kalau ditinggal mati sedang dalam keadaan mengandung, maka iddahnya memilih yang terpanjang dair kematian suaminya, atau malahirkan. Demikian pendapat yang mashur.
d.    Iddah wanita yang kehilangan suami
Bila ada seorang yang kehilangan suaminya, dan tidak diketahui dimana suaminya itu berada,apakah ia telah mati atau masih hidup,maka wajiblah ia menunggu empat tahun lamanya.sesudah itu hendaklah ia beriddah pula empat bulan sepuluh hari.

عَنْ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:اَيُّمَاامْرَأَةٍ فَقَدَتْ زَوْجَهَالَمْ نَدْرٍاَيْنَ هُوَفَاِنَّهَاتَنْتَظِرُاَرْبَعَ سِنِيْنَ ثُمَّ تَعْتَدُّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَعِشْرًا ثُمَّ تَحِلُّ (رواه مالك)

Artinya: "Dari Umar r.a. berkata: "bagi perempuan yang kehilangan suaminya, dan ia tidak mengetahui dimana suaminya berada, sesungguhnya perempuan itu wajib menunggu empat tahun, kemudian hendaklah ia beriddah empat bulan sepuluh hari, barulah ia boleh menikah."(HR.Malik)
Kalau suami itu hilang dalam pertempuran dan belum diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka wajiblah bagi istri menunggu setahun. Dalam sebuah hadits Nabi SAW, disebutkan:

عَنْ سَعِيْدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُ قَالَ:اِذَافُقِدَ فِى الصَّفِّ فِى الْقِتَال تَتَرَبَّصُ اِمْرَاَتُهُ سَنَةً(رواه البخارى)

Artinya: Dari Said bin Mussayyah r.a. berkata, "apabila seseorang hilang dalam barisan pertempuran,hendaknyalah istrinya menunggu setahun lamanya."(HR. Bukhari).
Kalau suaminya hilang dalam tawanan dan tidak diketahui tempatnya, maka ia di hukumi sebagai suami yang hilang tidak menentu tempatnya.
Hadits Nabi SAW:

قَالَ اَلزُّهْرِى فِى الاَسِيْرِ يُعْلَمْ مَكَانُهُ: لاَتَتَزَوَّجُ اِمْرَأَتُهُ وَلاَيُقْسَمُ مَالُهُ فَاِذَانْقَطَعَ خَبَرُهُ فَسُنَّتُهُ سُنَّةُالْمَفْقُوْدِ(رواه البخارى)

Artinya: Berkata zuhri dala perkara tawanan yang diketahui tempatnya: "istriny itu tidak boleh menikah, dan hartanya itu belum boleh dibagi-bagi, bila telah putus kabar beritanya, maka aturannya adalah aturan suami yang hilang."(HR.Bukhari)
Sebelum iddah itu sampai, hukumnya haram bagi perempuan itu menikah. Allah SWT berfirman:

.......وَلَا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ

Artinya: "Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis masa iddahnya. Dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu, maka takutlah kepada-Nya…"(Al-Baqarah:235)
e.     Iddah perempuan yang di Ila'
Jumhur fuqaha mengatakan bahwa ia harus menjalani iddah. Sebaliknya, Zabir bin Zaid berpendapat bahwa ia tidak wajib iddah, jika ia telah mengalami haid tiga kali selama masa empat bulan. Pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh segolongan fuqaha dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Abbas r.a. dengan alasan bahwa diadakannya iddah adalah untuk mengetahui kosongnya rahim.
Jumhur fuqaha beralasan bahwa istri yang di Ila' adalah istri yang dicerai juga, maka ia harus beriddah seperti perempuan yang dicerai.

5.    Perubahan masa Iddah
Bila seorang perempuan yang di Rai dengan thalaqraj’iy dan menjalani masa Iddahquru’ atau 3 bulan, sebelum masa itu habis mantan suami mati, maka idahnya berubah dan harus memulai Iddah mati yaitu 4 bulan sepuluh hari. Alasannya ialah suaminya mati dalam masa Iddahraj’iy yang kedudukannya dalam masa itu sama dengan kedudukan istri yang kematian suami.
Hal yang sama juga berlaku terhadap istri yang menjalani Iddah 3 bulan, ternyata dia hamil. Maka Iddahnya beralih dari 3 bulan menjadi melahirkan anak. Bila istri menjalankan Iddah mati dari suaminya yang baru saja mati, kemudian ternyata dia hamil, maka Iddahnya beralih kepada Iddah hamil, kecuali anak lahir sebelum masa 4 bulan sepuluh hari.
Iddah 3 bulan dapat beralih kepada Iddahquru’ bila setelah nenjalaniIddah bulan kurang dari 3 bulan Ternyata si perempuan ber haid lagi. Inilah pendapat para ulama termasuk iman yang 4. Alasannya ialah, bahwa yang menjadi perhitungan menurut asalnya adalah quru’. Namun kara tidak dapat menjalani Iddahquru’, maka Iddahnya beralih kepada Iddah bulanan. Setelah ternyata kemudian dia masih berhaid maka kembali ke perhitungan semula.
Demikian pula Iddahquru’ dapat beralih pada Iddah bulan, bila perempuan yang menjalani Iddahquru’ itu mengalami putus haid sebelum habis masa quru’nya perempuan ini beralih dengan memulai perhitungan Iddah 3 bulan. Namun bila haid yang dilaluinya terhenti sebelum masuk masa putus haid menjadi perbincangan di kalangan ulama.
Bila terhenti haidnya itu disebabkan suatu yang terjadi seperti sakit, atau menyusui, maka perempuan itu harus menunggu sampai kembali lagi haidnya, meskipun panjang haidnya, alasannya ialah bahwa perempuan berhaid Iddahnya di perhitungkan dengan haid. Bila terhenti dalam waktu tertentu maka dia harus menunggu sampai datang lagi haidnya.
Bila haidnya itu terhenti dan tidak di ketahui sebabnya, maka perempuan itu menunggu masa selama 9 bulan untuk mengetahui kalau-kalau yang dialaminya itu adalah hamil, bila setelah itu ternyata tidak hamil, maka dia beriddah selama 3bulan sebagai orang yang terhenti haid. Dengan demikian Iddahnya menjadi 1 tahun (ibid).
6.    Al-Ihdad (Berkabung)
Ihdad secara etimologi andalan menahan atau menjauhi. Seacara definitif, sebagaimana tersebut dalam beberapa kita fiqih adalah “menjauhi sesuatu yang dapat menggoda laki-laki kepadanya selama menjalani masa Iddah”. Adapun yang harus dijauhi oleh perempuan yang sedang berkabung menurut kebanyakan ulama ada empat :
1.    Memakai wangi-wangian, kecuali sekedar menghilangkan bau badan, baik dalam bentuk alat mandi atau parfum.
2.    Menggunakan perhiasan, kecuali dalam batas yang sangat biperlukan
3.    Menghias diri, baik dalam badan, muka atau pakaian yang berwarna
4.    Bermalam di luar rumah tinggalnya

7.    Hak Istri Dalam Masa Iddah
Istri yang telah bercerai dari suaminya masih mendapat hak-hak dari mantan suaminya selama dalam masa Iddah, istri tang bercerai dengan suaminya di hubungkan kepada hak yang diterimanya di kelompokkan dalam 3 macam :
1.    Istri yang di cepari dalam bentuk masa raj’iy, hak yang diterimanya adalah penuh sebagai mana yang berlaku sebelum di cerai.
2.    Istri yang di cerai dalam bentuk tallaqBain, baik Bain Suro atau Bain Suro dan dia sedang hamil. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa dia berhak atas nafaqah dan tempat tinggal. Dasar hukumnya surat Al-Thalaq (65) ayat 6.
3.    Hak istri yang di tinggal mati oleh suaminya. Dalam hal sitri dalam keadaan hamil ulama sepakat mengatakan bahwa dia berhak atas nafkah dan tempat tinggal namun bila istri tidak dalam keadaan hamil ulama berbeda pendapat.
Menurut imam Malik, Al syafi’i dan abu hanifah berpendapat bahwa istri dalam idah wafat berhak atas tempat tinggal.
Menurut imam Ahmad berpendapat bahwa idah istri wafat yang tidak hamil tidak berhak atas tempat tinggal.






8.    UU perkawainan Mengatur Tentang Iddah Dengan Menggunakan Waktu Tunggu

Pasal 11
1.    Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu
2.    Tentang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan di atur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut
Adapun peraturan yang dimaksud dalam ayat 2 tersebut di atas adalah : PP No.9 tahun 1975 penjelasan tentang waktu tunggu tersebut di atur dalam pasal 39 dalam rumusan sebagai berikut:
1.    Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat 2 UU di tentukan sebagai berikut :
a.    Apabila perkawinan, waktu tunggu di tetapkan 130 hari
b.    Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 10 hari dan bagi yang tidak berdatang bulan di tetapkan 90 hari.
c.    Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu di tetapkan sampai melahirkan.
2.    Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedangkan antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.
3.    Bagi perkawinan yang putus atas perceraian, tenggang waktu tunggu di hitung sejak
 Jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan perkawinan yang putus atas kematian tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

9.    Hikmah Iddah
Adapun hikmah adanya iddah adalah sebagai berikut:
a.    Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang perempuan, sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lain.
b.    Memberi kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk kembali kepada kehidupan semula, jika mereka menganggap hal tersebut baik.
c.    Menjunjung tinggi masalah perkawinan yaitu untuk menghimpunkan orang-orang arif mengkaji masalahnya, dan memberikan tempo berfikir panjang.
d.    Kebaikan perkawinan tidak terwujud sebelum kedua suami istri sama-sama hidup lama dalam ikatan akadnya.
Dalam pedoman perkawinan, halaman:88 disebutkan bahwa hikmah iddah adalah:
a.    Iddah adalah masa berfikir kembali lagi atau berpisah
b.    Waktu iddah baik bagi pihak ketiga untuk usaha merujuk kembali
c.    Masa penyelesaian segala masalah bila masih ada masalah dan akan tetap berpisah
d.     Masa pealihan untuk menentukan hidup baru
e.    Sebagai waktu berkabung bila suaminya meninggal dunia
f.     Masa untuk menentukan kosong tidaknya istri dari suami
g.    Sebagai hokum ta'abudy.

B.    RUJUK
1.    Pengertian  Rujuk
Rujuk artinya kembali. Menurut syara' adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah talak raj'i.
....وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا.....
Artinya: "Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah."(Q.S. Al-Baqarah:228)
Bila seseorang telah menceraikan istrinya, maka ia dibolehkan bahkan dianjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat bila keduanya betul-betul hendak kembali (islah). Dengan arti bahwa mereka benar-benar sama-sama saling mengerti dan penuh rasa tanggung jawab antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi, bila suami mempergunakan kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat islah, bahkan sebaliknya untuk mengniaya tanpa memberi nafkah, atau semata-mata untuk menahan istri agar jangan menikah dengan orang lain, dan sebagainya. Maka suami tidak berhak untuk merujuk istrinya itu, malah haram hukumnya.
2.    Hukum dan Dasar Hukumnya
Dalam satu sisi rujuk itu adalah membangun kembali kehidupan perkawinan yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan perkawinan. Kalu membangun kehidupan perkawinan pertamakali disebut perkawinan,maka melanjutkanya disebut ruju’.Hukum ruju’ dengan demikian sama dengan hokum perkawinan,dalam mendudukan hokum asal dari ruju’itu ulama’ berbeda pendapat.Jumhur ulama’ mengatakan hokum ruju’ itu sunat.Dasarmya yakni surat Al-Baqarahayat 229:

Artinya: Thalaq itu ada 2kalisesudah itu tahanlah dengan baik,atau lepaskan dengan baik.

3.    Tujuan dan Hikmah Hukum
Diaturnya ruju’ dalam hukum syara’ karena padanya terdapat beberapa hikmah yang akan mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.Banyak orang yang menceraikan istrinya tidak dengan pertimbanagn yang matang sehingga segera setelah putus pernikahan timbul suatu penyesalan.Dalam keadaan menyesalitu sering timbul keinginan kembali untuk hidup dalam perkawinan,namun akan memulai perkawinan baru menghadapi bebrapa kendala.Adanya lembaga ruju’ini menghilangkan kendala tersebut.

Seorang istri yang berada dalam iddah thalak raj’iy disatu sisi tinggal dalam satu rumah yang disediakan oleh suaminya,sedangkan suamipun dalam keadaan tertetu diam dirumah itu juga;disisi lain dia tidak boleh bergaul dengan suaminya itu.Maka terjadilah kecanggungan psikologgis selama dalam masa iddah itu.Untuk keluar darikecanggungan itu Allah member pilihan yang mudah diikuti yaitu kembali kepada kehidupan perkawinan atau meninngalkan istri smpai habis masa iddahnya.

4.    Rukun dan Syarat
Adapun rukun dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk terlaksananya sebuah perbuatan ruju’ adalah: ucapan ruju’, mantan suami yang meruju’ dan mantan isri yang diruju’.
a.    Laki-laki yang meruju’.Adapun syaratnya adalah:
1)    Laki=laki yang meruju’ adalah suami bagi perempuan yang diruju’ yang dia menikah istrinya dengan nikah yang sah.
2)    Laki-laki yang meruju’ itu mestilah seseorang yang telah mampu melaksanakan pernikahan dengan sendirinya,yaitu telah dewasa dan sehat akalnya.
b.    Perempuan yang diruju’.Adapun syarat-syaratnya yakni:
1)    Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki-laki yang meruju’
2)    Istri itu telah diceraikanya dalam bentuk talak raj’iy.
3)    Istri itu masih berada dalam masa iddah talak raj’iy.
4)    Istri itu telah digaulinya dalam masa perkawinan itu
c.    Ada ucapan ruju’ yang diucapkan oleh laki-laki yang meruju’.
Adapun ucapan yang dijadikan sebagai cara untuk ruju’ ada dua macam.Pertama ucapan sharih,yaitu ucapan jelas untuk tujuan ruju’ dan digunakan dalam Al-qur’an untuk ruju’ yaitu lafaz “Raja-‘a;am-sa-ka” dan “Radda”,
d.    Kesaksian dalam ruju’
Tentang keasaksian dalam ruju’ ulama beda pendapat.Menurut imam syafi’iy mensyaratkan kesaksian ada 2orang saksi sebagaimana yang berlaku dalam akad nikah.Dasarnya adalah surat At-Thalaq ayat2:

Artinya: Bila mereka telah mendekati masa iddahnya,maka rujukilah mereka dangan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantarmu;dan tegakkan keesaksian karena allah.

5.    Macam Rujuk
Mengenai macamnya rujuk, hanya dapat dilakukan dalam talak yang raj'i selama istri masih dalam masa iddah. Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِىَ اللّهُ عَنْهُمَا لَمَّاسَأَلَهُ سَائِلٌ قَالَ: اَمَا اَنْتَ طَلَقْتَ اِمْرَاَتَكَ مَرَّةً اَوْمَرَّتَيْنِ فَاِنَّ رَسُوْلَ اللّهِ اَمَرَنِى اَنْ اُرَجِعُهَا          (رواه مسلم)
Artinya: Dari Ibnu Umar r.a waktu itu ia ditanya oleh seseorang, ia berkata,"Adapun engkau yang telah mencerikan istri baru sekali atau dua kali, maka sesungguhnya Rasulullah SAW. telah menyuruhku merujuk istriku kembali."(HR.Muslim)
Firman Allah SWT:
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ....
Artinya: "Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf pula."(Q.S. Al-Baqarah:231)




6.    Syarat dan Rukun Rujuk
Syarat-syarat yang harus dipenuhi, antara lain:
a.    Saksi untuk rujuk
b.     Rujuk dengan kata-kata atau penggaulan istri
c.    Kedua belah pihak yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik
d.     Istri telah di campuri
e.     Istri baru dicerai dua kali
f.    Istri yang di cerai dalam masa iddah raj'i
Rukun rujuk antara lain:
a.    Ada suami yang merujuk atau wakilnya
b.    Ada istri yang dirujuk dan sudah dicampurinya
c.    Kedua belah pihak (suami dan istri) sama-sama suka
d.    Dengan pernyataan ijab qobul, seperti mengucapkan kata-kata rujuk misalnya:"aku rujuk engkau pada hari ini". Atau: "telah ku rujuk istriku yang bernama:……..pada hari ini".dan sebagainya.

7.    Perselisihan dalam Ruju’
Perselisihan suami istri dalam ruju’ dapat terjadi dalam berakhirnya masa iddah,seperti suami  mengatakan dia telah meruju’ istrinya dan istrimenjawab bahwa iddahnya telah habis waktu suaminya mengucapkan ruju’.Atau berselisih tentang terjadinyaruju’ itu sendiri,baik dengan ucapan atau perbuatan,umpamanya ucapan suami: “saya telah merujukimu kemarin”,istri membantah telah terjadi ruju’.
Bila suami mendakwakan bahwa dia telah melakukan ruju’,sedangkan istri berkata bahwa iddahnya sudah habis sewaktu suami mengucapkan ruju’itu,maka yang dibenarkan adalah ucapan istri selama yang demikian memungkinkan.Dasar pendapat ini ialah surat Al-Baqarah ayat 228:

Artinya: Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang danijadikan allah dalam rahim mereka jika mereka percaya kepada allahdan hari akhir.Dan suamimerseka lebih berhak untuk kembali kepada merka jika mereka menginginkan kehidupan islah atau damai.
Dalam ayat tersebut Allahmelarang istri menyembunykan iddahnya.Kalau seandainya perkataan istri tidak dibenarkan,maka tidak ada halanganya untukmenyebunyikan iddahnya itu.
Kalau istri mendakwakan bahwa iddahnya telah habis,sedankan dia beriddah dengan quru’,maka menurut ulama yang mengatakan bahwa quru’ itu adalah haid,dan minimal masa suci adalah 13 hari,maka jumlah idahnya adalah 28hari tambah sesaat.
Bila istri mendakwakan iddahnya telah habis sedangkan dia beriddah melahirkan anak,dan kehamilanya adalah sempurna,maka minimal masa idahnya adalah 6bulan dari waktu adamkemungkinan melakukan hubungan kelamin.Kalau dia mendakwakan keguguran,maka minimal masa iddahnya adlah 80hari,karena dimasa itu keguguran hanya dalam bentuk yang belum berupa matkhluk manusia.
Bila istri mendak6wakan berakhir masa iddahnya sedangkan iddahnya dengan 3bulan,maka tidak dibenarkan ucapan istri,karena perselisihan disini adalah soal waktu terjadinya thalaq,sedangkan kesempatan menalak itu hak suami.
Bila perselisihan terjadi dalam ucapan ruju’seperti suami mengatakan bahwa dia telah menalak istrinya kemarin dan istri membantahnya,maka yang dibenarkan adalah ucapan suami. Alasanya ialah suami mempunyai hak untuk ruju’ dan dengan sendirinya juga punya hak unuk mengikrarkan srujuk kapan dia mau.
8.    Undang-undang mengenai ruju’



Ruju’
Pasal 163
1.    Seorang suami dapat merujuk istrinya dalam masa iddah.
2.    Ruju’dapat dilakukan dengan hal-hal:
a.    Putusnya perkawinan karena talak,kecuali yang telah jatuh 3kali atau talak yang dijatuhkan qabla al-dukhul
b.    Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan denganalasan zina dan khulu’
Pasal 164
Seorang wanita dalam iddah talak raj’I berhak mengajukankeberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminyadihadapan pegawai pencatat nikah disaksikan dengan 2orang saksi.

Pasal 165
Ruju’ yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istridapat dinyatakan tidak sah dengan putusan pengadilan agama.

Pasal166
Ruju’ harus dapat dibuktikan dengankutipan buku pendaftaran ruju’ dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi,dapatdiminta duplikatnya kepsds instansi yang mengeluarkanya.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Iddah adalah masa tunggu yang harus dijalani setiap istri ketika berpisah dengan suaminya
2.    Iddah memiliki perbedaan dalam waktu tunggunya tergantung sebab-musababnya.
3.    Tujuan dilakukanya Iddah yakni:
a.    untuk mengetahui bersihnya Rahim perempuan tersebut dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya
b.    untuk taabud, artinya semata untuk memenuhi kehendak dari allah
4.    Hikmah yang dapat diambil dari ketentuan iddah itu adalah, agar suami yang telah mencerai istrinya itu berpikir kembali dan menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal.
5.    Ruju’ adalah membangun kembali kehidupan perkawinan yang terhenti atau memasuki kembali kehidupan perkawinan.
6.    Rujuk hanya dapat dilakukan dalam talak yang raj'i selama istri masih dalam masa iddah


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar